Jepang memiliki sistem kepercayaan yang unik, yang merupakan perpaduan dari beberapa agama dan tradisi spiritual. Berikut adalah agama dan kepercayaan utama di Jepang:
1. Shinto (神道 - Shintō)
Shinto adalah agama asli Jepang yang berfokus pada pemujaan roh atau kami yang diyakini menghuni alam, seperti gunung, sungai, pohon, dan bahkan tokoh-tokoh sejarah. Shinto tidak memiliki kitab suci atau pendiri resmi, tetapi ritual dan festival (matsuri) Shinto masih banyak dipraktikkan hingga saat ini, terutama dalam upacara adat dan perayaan tahun baru.
2. Buddha (仏教 - Bukkyō)
Buddhisme masuk ke Jepang pada abad ke-6 melalui Tiongkok dan Korea. Agama ini memiliki banyak aliran, dengan Zen Buddhism dan Pure Land Buddhism (Jōdo-shū) menjadi yang paling populer. Banyak kuil Buddha (tera) tersebar di seluruh Jepang, dan tradisi Buddhis sering dikaitkan dengan upacara pemakaman serta peringatan leluhur.
3. Konfusianisme dan Taoisme
Walaupun bukan agama utama, ajaran Konfusianisme dan Taoisme yang berasal dari Tiongkok turut memengaruhi nilai-nilai sosial dan etika di Jepang, seperti penghormatan kepada orang tua, hierarki sosial, dan keseimbangan dalam kehidupan.
4. Kristen (キリスト教 - Kirisutokyō)
Kristen diperkenalkan oleh misionaris Portugis pada abad ke-16, tetapi sempat mengalami penindasan pada era Tokugawa. Saat ini, jumlah umat Kristen di Jepang relatif kecil (sekitar 1% dari populasi), tetapi beberapa tradisi Barat, seperti pernikahan di gereja, cukup populer.
5. Agama Minoritas Lainnya
Selain agama-agama di atas, ada juga komunitas kecil Muslim, Hindu, Yahudi, dan Sikh di Jepang, terutama di kota-kota besar seperti Tokyo dan Osaka.
6. Kepercayaan Tradisional dan Sinkretisme
Banyak orang Jepang tidak secara eksklusif menganut satu agama tertentu. Mereka sering menggabungkan unsur-unsur dari berbagai kepercayaan, seperti melakukan pernikahan dengan adat Shinto, tetapi menjalankan pemakaman dengan tradisi Buddha. Agama di Jepang lebih banyak bersifat budaya dan tradisional dibandingkan dogmatis.
Mayoritas orang Jepang mengidentifikasi diri mereka sebagai non-religius atau agnostik, tetapi tetap menjalankan ritual-ritual keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa di Jepang, agama lebih sering dipraktikkan sebagai tradisi daripada sebagai keyakinan yang ketat.